Cerita Rakyat Maluku, Legenda Nenek Luhu

Berikut ini, tabbbayun akan menceritakan sebuat kisah yang berjudul cerita Rakyat Maluku inspiratif tentang Legenda Nenek Luhu yang singkat.

Cerita Rakyat Maluku, Legenda Nenek Luhu

Nenek Luhu adalah tokoh legenda di masyarakat Ambon, Maluku, Indonesia yang menghilang secara misterius.

Dia sering muncul saat hujan deras dan cuaca panas. Menurut kepercayaan lokal, saat itu orang-orang takut keluar rumah karena Nenek Luhu akan menculik siapa pun yang dia temui, terutama anak-anak.

Siapa sebenarnya Nenek Luhu itu? Berikut adalah ceritanya.

Dalam zaman penjajahan Belanda, ada sebuah negeri bernama Luhu di Pulau Seram, Maluku. Negeri itu kaya akan hasil cengkeh. Negeri kecil ini diperintah oleh Raja Gimelaha Luhu Tuban, juga dikenal sebagai Raja Luhu.

Raja memiliki seorang permaisuri bernama Puar Bulan dan seorang putri cantik bernama Ta Ina Luhu. Ta Ina Luhu adalah anak sulung sang raja yang baik, patuh, berakhlak mulia, rajin beribadah, mandiri, dan menyayangi keluarganya.

Selain Ta Ina Luhu, Raja Luhu memiliki dua putra, yaitu Sabadin Luhu dan Kasim Luhu.

Suatu hari, kabar tentang kekayaan Negeri Luhu di Pulau Seram sampai ke penjajah Belanda di Ambon. Mereka ingin menguasai pulau tersebut dan dengan senjata lengkap, mereka menyerang Negeri Luhu.

Raja Luhu dan pasukannya berjuang untuk melawan, sehingga terjadi pertempuran sengit yang dikenal sebagai Perang Pongi atau Perang Huamual. Namun, Belanda berhasil menguasai Negeri Luhu.

Raja Luhu, keluarganya, dan rakyatnya tewas dalam perang tersebut. Satu-satunya yang selamat adalah putri raja, Ta Ina Luhu.

Namun, ia ditangkap oleh Belanda dan dibawa ke Ambon untuk menjadi istri seorang panglima perang Belanda.

Tiba di Benteng Victoria, Ambon, Ta Ina Luhu menolak menjadi istri panglima perang Belanda.

Akibatnya, ia disiksa oleh panglima tersebut. Putri yang malang itu tidak bisa berbuat apa-apa. Namun, karena tidak ingin terus menderita di tangan panglima tersebut, Ta Ina Luhu mencari cara untuk melarikan diri dari Kota Ambon.

Suatu malam, Ta Ina Luhu berhasil mengelabui tentara Belanda dan melarikan diri secara diam-diam dari kota Ambon. Ia pergi ke sebuah negeri bernama Soya.

Di sana, ia disambut baik oleh Raja Soya dan dianggap sebagai anggota keluarga kerajaan. Ia mendapat kamar tidur yang nyaman dan indah. Ta Ina Luhu sangat terharu dengan sambutan tersebut karena teringat saat dia menjadi putri raja.

Air matanya menetes membasahi pipinya. Dia sangat merindukan kedua orangtuanya dan adik-adiknya.

“Ayah, Ibu! Adikku, Sabadin dan Kasim! Aku sangat merindukan kalian. Aku hanya bisa berdoa agar kalian hidup dengan tenang di alam sana!” kata Ta Ina Luhu.

Setelah beberapa bulan tinggal di istana Soya, Ta Ina Luhu diketahui sedang hamil.

Kehamilan ini membuatnya merasa menjadi beban bagi keluarga Raja Soya. Akhirnya, ia memutuskan untuk meninggalkan istana tersebut.

“Oh, Tuhan! Aku tidak punya keluarga lagi di dunia ini. Tetapi, kehadiranku di sini hanya akan merepotkan keluarga Raja Soya. Aku harus pergi dari istana ini. Berilah aku petunjuk, Tuhan!” pinta Ta Ina Luhu.

Pada suatu malam, ketika suasana istana sudah sepi, Ta Ina Luhu diam-diam menuju pintu belakang istana sambil mengawasi sekelilingnya.

Dia benar-benar ingin pergi tanpa memberitahu keluarga Raja Soya, karena mereka tidak akan mengizinkannya. Setelah sampai di halaman belakang istana, ia melihat seekor kuda terikat di bawah pohon.

Kuda itu adalah milik Raja Soya yang biasa digunakan untuk menghadap Gubernur Ambon.

Dengan hati-hati, Ta Ina Luhu naik ke punggung kuda itu. Sebelum meninggalkan negeri tersebut, dia berbisik dalam hati.

“Maafkan aku, Baginda! Maafkan aku, seluruh keluarga istana! Kalian baik sekali padaku. Tetapi, aku harus pergi agar tidak merepotkan kalian. Mohon izinkan aku pergi dan jangan mencari aku lagi!” kata Ta Ina Luhu.

Kemudian, Ta Ina Luhu yang sedang hamil segera pergi sebelum ada yang melihatnya dari istana. Dia melewati hutan yang sepi dan menakutkan. Meskipun malam terasa dingin, Putri Raja Luhu terus memacu kuda menuju puncak gunung.

Setibanya di sana, dia berhenti dan terpesona dengan pemandangan Teluk Ambon yang indah. Pemandangan itu sejenak mengobati luka hati sang putri.

“Oh, Negeriku! Keindahanmu sungguh mempesona,” kata Ta Ina Luhu dengan kagum.

Setelah berkata demikian, sang putri tiba-tiba terjatuh dari kuda hingga pingsan. Dia sudah tidak mampu menahan kelelahan setelah perjalanan yang jauh. Tak lama kemudian, ia sadar kembali.

Dengan sisa-sisa tenaganya, ia berusaha bangkit dan berdiri di samping kudanya. Dalam keadaan setengah sadar, dia mengarahkan kudanya ke sebuah pohon jambu yang rindang dan berbuah lebat.

Setelah mengikat kudanya pada pohon jambu, sang putri segera berbaring dan tertidur nyenyak.

Ia bangun keesokan harinya ketika matahari tinggi. Ketika terbangun, ia merasa lapar. Meskipun masih lemah, ia berusaha mencapai buah jambu yang sudah matang. Setelah memakan beberapa buah jambu, kekuatannya perlahan pulih.

Di istana Soya, sang raja menjadi panik saat mengetahui Ta Ina Luhu tidak ada di kamarnya. Keluarga kerajaan mencarinya di seluruh istana, tetapi mereka tidak menemukannya. Para pengawal istana yang mencari di Kota Soya juga tidak menemukannya. Saat itu, seorang pengawal datang melaporkan kepada Raja Soya.

“Pengampunan, Baginda! Saya ingin melaporkan sesuatu,” kata pengawal itu.

“Hai, apakah kamu menemukan Putri Ta Ina Luhu? Di mana dia sekarang?” tanya Raja Soya dengan penasaran.

“Pengampunan, Baginda Raja! Saya ingin melaporkan bahwa kuda Baginda yang diikat di belakang istana juga hilang. Jadi, saya pikir Putri Ta Ina Luhu pergi dengan menunggang kuda Baginda,” jelas pengawal itu.

Setelah mendengar laporan itu, Raja Soya semakin panik. Ia sangat khawatir tentang keadaan Ta Ina Luhu yang sedang hamil.

Tanpa berpikir panjang, ia segera memanggil petugas tifa dan penasehat kerajaan. Kedua pejabat itu datang menghadapnya.

“Pengampunan, Baginda! Mengapa Baginda memanggil kami?” tanya kedua pejabat itu.

“Segera kumpulkan semua pria berusia enam belas hingga empat puluh tahun. Perintahkan mereka untuk mencari dan membawa pulang Putri Ta Ina Luhu dalam keadaan selamat!” perintah Raja Soya.

“Perintah Baginda akan kami laksanakan,” jawab keduanya sambil memberi hormat.

Setelah orang-orang itu berkumpul, mereka dibagi menjadi kelompok-kelompok. Mereka pergi mencari sang putri dengan mengikuti jejak kaki kuda yang ditunggangi olehnya.

Sementara itu, Ta Ina Luhu masih berada di puncak gunung. Ketika siang hari mendekat, ia mendengar suara orang memanggilnya dari kejauhan. Ia sadar bahwa orang-orang itu pasti pengawal Raja Soya yang datang mencarinya.

Oleh karena itu, ia segera pergi dari tempat itu. Ketika sebagian pengawal Raja Soya tiba di tempat tersebut, mereka tidak menemukan sang putri, hanya bekas kulit jambu yang sudah dimakan olehnya. Maka tempat itu dinamakan “Gunung Nona”.

Ta Ina Luhu melanjutkan perjalanannya menuruni lereng gunung menuju pantai Amahusu. Kuda yang ditungganginya sangat cepat, hingga topi yang dikenakannya terbang oleh angin.

Konon, ketika ia hendak mengambilnya, topi itu tiba-tiba berubah menjadi batu. Batu itu kemudian dinamakan “Batu Capeu”.

Ta Ina Luhu terus mengikuti pantai Amahusu hingga sampai di Ambon. Sang putri terlihat lemah karena kelaparan dan haus. Kuda yang ditungganginya pun dalam keadaan yang sama. Setelah berjalan jauh mencari air minum, akhirnya mereka menemukan mata air. Ta Ina dan kudanya segera minum dengan puas dari mata air tersebut. Mata air itu dinamakan “Air Putri”.

Setelah istirahat sejenak di tempat itu, Ta Ina Luhu berniat kembali ke puncak Gunung Nona melalui jalan yang berbeda agar tidak bertemu dengan pengawal Raja Soya. Namun, ketika akan pergi, ia kembali mendengar suara orang memanggilnya.

“Putri…, Putri…, Putri Ta Ina Luhu…! Kembalilah… Baginda Raja Soya sedang menunggumu!”

Ta Ina Luhu segera naik ke kudanya untuk melarikan diri. Namun, tiba-tiba rombongan Raja Soya datang menghadangnya.

Dalam keadaan terdesak, Ta Ina Luhu turun dari kudanya dan berlutut memohon kepada Tuhan agar rombongan itu tidak membawanya kembali ke istana Soya.

“Oh Tuhan! Tolonglah saya! Saya tidak ingin kembali ke istana Soya. Saya tidak ingin merepotkan orang lain. Biarkan saya hidup sendirian!” pinta Ta Ina Luhu.

Ketika seorang pengawal hendak menarik tangannya, tiba-tiba Ta Ina Luhu menghilang secara misterius. Rombongan pengawal itu terkejut. Mereka hanya terdiam melihat kejadian ajaib itu.

Sejak saat itu, penduduk Ambon sering diganggu oleh makhluk halus. Ketika hujan turun saat cuaca panas, seringkali ada warga, terutama anak-anak, yang hilang. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, makhluk halus yang suka menculik anak-anak itu adalah penjelmaan dari Ta Ina Luhu.

Sejak itu, Ta Ina Luhu dipanggil dengan sebutan Nenek Luhu. Namun, sampai sekarang, tidak ada yang tahu mengapa Nenek Luhu suka mengganggu penduduk Ambon, terutama anak-anak.

Itulah cerita singkat yang populer, berjudul cerita Rakyat Maluku inspiratif tentang Legenda Nenek Luhu, lengkap dengan pesan moralnya.

Demikianlah legenda Nenek Luhu dari Ambon, Maluku. Cerita ini mengandung nilai-nilai moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari.

Terdapat dua nilai moral yang dapat dipetik dari cerita Rakyat Maluku inspiratif tentang Legenda Nenek Luhu, yaitu ketekunan dan kemandirian. Sikap dan perilaku Ta Ina Luhu menunjukkan ketekunan saat ia tidak pernah menyerah dalam mencari cara untuk melarikan diri dari penjajah Belanda yang menyakitinya.

Sementara itu, kemandirian Ta Ina Luhu terlihat dari keinginannya untuk tidak merepotkan orang lain. Itulah sebabnya ia pergi dari istana Soya tanpa memberitahu Raja Soya.

Selain itu, cerita Rakyat Maluku inspiratif tentang Legenda Nenek Luhu ini juga mengandung nilai kesehatan.

Terlepas dari benar atau salahnya, kepercayaan tentang Nenek Luhu yang muncul saat hujan turun bersamaan dengan cuaca panas merupakan mitos yang digunakan oleh masyarakat setempat untuk menakut-nakuti anak-anak agar tidak keluar rumah, karena kombinasi cuaca tersebut dapat menyebabkan penyakit seperti pilek, batuk, dan demam.

Leave a Comment